Sumur resapan sedang dibangun secara masif di berbagai sudut Jakarta. Apakah keberadaan sumur resapan ini bisa diandalkan mengatasi banjir di ibu kota?
Tidak semudah itu Ferguso. Sumur resapan SAJA tidak akan bisa menyelesaikan banjir. Tapi, harus dikombinasikan dengan berbagai upaya lain.
Masalah banjir ini sudah bukan menahun lagi, tapi sampai melintas abad. Jadi ya memang sulit diatasi. Kalau gampang mah, dari dulu udah kelar.
Dataran Jakarta merupakan hasil dari proses geomorfologi dari endapan sungai yang berasal dari gunung-gunung api di sebelah selatannya. Prosesnya berlangsung ribuan tahun. Tidak satu atau dua, ada 13 sungai yang melintasi Jakarta dari hulunya jauh di selatan sana.
Sejarah mencatat, sejak zaman kolonial kota ini sudah kerap dilanda banjir. Banjir besar pertama tercatat pada 1621, dua tahun setelah pendirian kota Batavia. Banjir besar terjadi lagi pada 1654. Banjir besar berikutnya terjadi pada 1872, 1909, dan 1918.
Pemerintah Hindia Belanda sudah melakukan berbagai cara, di antaranya yang monumental adalah pembangunan Kanal Banjir Barat oleh Herman van Breen. Upaya pengendalian banjir Jakarta juga terus dilakukan pascakemerdekaan.
Namun, memang tidak mudah. Bisa dibayangkan kalau waktu masa pendudukan Belanda saja –saat wilayah Jakarta masih banyak rawa, sawah atau kebon—sudah banjir, apalagi sekarang di mana sudah banyak terjadi alih fungsi lahan.
Belum lagi kondisi di daerah sekitar hulu sungai, yang merupakan wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat. Perkebunan di daerah Puncak sudah berubah wujud menjadi vila-vila.
Jadi, Gubernur Jawa Barat dong yang bisa ikut membantu Jakarta menangani persoalan banjir? Nggak semudah itu juga. Dalam sistem pemerintahan saat ini, otonomi daerah adanya di tingkat kabupaten dan kota.
Maka dari itu, tidak salah kalau dulu pernah ada tokoh yang bilang begini, “banjir tidak hanya masalah Jakarta karena 90 persen air yang menggenangi Jakarta itu justru berasal dari atas (Bogor). Semua pengelolaan 13 sungai besar yang ada di Jakarta juga semuanya kewenangan pemerintah pusat.”
Nah, sekarang beliau yang ngomong kayak gitu sudah masuk periode kedua di Istana. Bagaimana banjir di Jakarta? Ya ndak tau, kok tanya saya.
Eh jangan julid. Pemerintah pusat juga tidak berdiam diri kok. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus mempercepat penyelesaian pembangunan Bendungan Kering (dry dam) Sukamahi dan Ciawi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pembangunan kedua bendungan merupakan bagian dari rencana induk sistem pengendalian banjir (flood control) dari hulu hingga hilir untuk mengurangi kerentanan bencana banjir kawasan Metropolitan Jakarta.
Semua upaya yang dilakukan harus kita dukung. Mau itu namanya normalisasi, naturalisasi, pembangunan waduk, bendungan, polder, tanggul laut, sumur resapan, atau apapun itu semuanya bertujuan mengatasi permasalahan banjir di ibu kota.
Jelas tidak logis kalau kita malah cuma berharap pada sumur resapan untuk mengatasi banjir di Jakarta. Sumur resapan ini pun tidak bisa dibuat di semua lokasi loh. Untuk lokasi yang muka air tanahnya tinggi, tidak bisa dibuat drainase vertikal. Alih-alih meresapkan air, yang ada malah luber.
Tapi, semakin banyak sumur resapan (di lokasi yang tepat) akan semakin baik karena mengurangi limpasan air hujan yang ada di permukaan (sehingga menyebabkan genangan) ataupun yang masuk ke saluran membebani sistem drainase perkotaan.
Jangan lupakan juga fungsi lain dari sumur resapan. Apaan tuh?
Jakarta juga dibayangi dengan penurunan muka tanah (land subsidence). Faktor yang diduga mempengaruhi adalah eksploitasi air tanah secara berlebihan. Bukan rahasia lagi kalau sistem air perpipaan kita belum mencukupi dan menjangkau secara merata.
Nah, sumur resapan akan sangat bermanfaat bagi konservasi air tanah. Cadangan air tanah akan meningkat. Bukan hanya itu, air yang meresap juga akan mengisi pori-pori tanah yang mencegah terjadinya penurunan tanah.
Ancaman land subsidence mungkin belum nyata seperti halnya banjir yang sering kita alami. Tapi, jangan sampai kita justru menyesal di kemudian hari saat semuanya sudah terlambat. Masih ada waktu untuk kita melakukan mitigasi.
Daripada terus-terusan merisak gubernur Anies, coba kita introspeksi apa yang sudah kita lakukan. Apakah kita termasuk yang berkontribusi mengurangi dampak banjir sekaligus ramah terhadap alam? Atau sebaliknya, kita punya andil terhadap bencana alam yang masih terjadi.
Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, sebisa mungkin sediakan ruang terbuka hijau di rumah kita. Maksimalkan fungsinya sebagai area resapan, maka tentu saja kurangi perkerasan. Lebih baik lagi kalau kita membangun sumur resapan sendiri di rumah. Selain itu, kita juga bisa menabung air hujan (rain harversting) dari tangkapan di area atap rumah kita. Airnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan lain, sekaligus kita mengurangi runoff yang mengalir ke jalan atau saluran.
Kalau itu semua dirasa sulit, ya sudah minimal dengan tidak ikut-ikutan mencibir sumur resapan. Mungkin nanti anak cucu kita yang merasakan manfaatnya.