Menghormati MH Thamrin dengan Lebih Layak

Reporter: Kominfotik JP  |  Editor: Kominfotik JP

Patung MH Thamrin di Museum MH THamrin, Kenari, Senen, Jakarta Pusat

Kalau kita tanya ke generasi milenial tentang MH Thamrin, jangan-jangan jawaban mereka cuma sebatas nama jalan protokol di Jakarta Pusat. Padahal, jejak sejarahnya begitu mengesankan.

Mohammad Hoesni Thamrin, lahir tanggal 16 Februari 1894 di Weltevreden, Batavia. Ia memang putera seorang pembesar di zamannya. Ayah Thamrin, Tabrani, adalah seorang wedana di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Wijk. Nasib baik membuatnya bisa mengenyam Pendidikan tinggi dibanding saudara-saudara sebangsa kebanyakan.

Selepas sekolah, ia sempat bekerja di kantor kepatihan sebelum akhirnya berkarier di perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Namun, kepeduliannya pada nasib kaum pribumi membuat ia mulai tertarik dengan dunia politik. Di usia yang amat belia, ia sudah ditunjuk menjadi anggota Geementeraad (Dewan Kota Batavia).

Ia terus menapaki perjuangan di jalur formal ini sampai akhirnya terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), semacam parlemen di zaman sekarang. Menyandang status sebagai anggota dewan yang terhormat, tidak membuat Thamrin lupa akan tujuan perjuangannya sejak awal yaitu meningkatkan harkat dan martabat kaum pribumi.

Mat Seni, sapaan akrab MH Thamrin, konsisten memperjuangkan perbaikan kampung. Ia menuntut pemerintahan kolonial untuk memberi perhatian dan tentunya anggaran untuk proyek-proyek perbaikan kampung. Thamrin juga menaruh perhatian lebih pada upaya pengendalian banjir. Di antaranya adalah terkait pembangunan kanal Kali Ciliwung. Mat Seni pula yang berjasa merevitalisasi Lapangan Petojo sehingga bisa dimanvaatkan Vooetballbond Indische Jacatra (VIJ). Lewat sepak bola, ia melawan diskriminasi dan memupuk rasa nasionalisme di kalangan pribumi.

Bukan cuma sebatas isu-isu lokal di Batavia, ia juga peduli dengan nasib kaum pekerja di Sumatera, misalnya pada kuli perkebunan tembakau di Deli dan buruh batu bara di Sawahlunto. Bersama rekan-rekannya di Volksraad, Thamrin berhasil menghapus Poenale Sanctie, sebuah ordonansi (undang-undang) yang memberi hak kepada perusahaan untuk menjatuhkan sanksi kepada buruh tanpa melalui persidangan.

Catatan prestasi selanjutnya dari Thamrin adalah saat ia bersama tokoh Pendidikan lain seperti Ki Hajar Dewantara dan Sam Ratulangi menganulir Ordonansi Sekolah Liar. Dengan aturan itu pemerintah kolonial bisa saja menutup sekolah-sekolah swasta, yang biasa diakses kaum pribumi. Berkat perjuangan Thamrin dan kawan-kawan, ordonansi itu hanya berumur tak lebih dari tujuh bulan.

Mat Seni juga merupakan salah satu tokoh yang memelopori penggunaan istilah “Indonesia”, “Indonesisch” dan “Indonesier” sebagai pengganti kata-kata “Indie”, “Nederland Indisch” dan “Inlander” dalam undang-undang, ordonansi, dan sebagainya.

Dengan rekam jejak seperti itu, nyatanya dalam kurikulum pendidikan kita selama ini nama Thamrin seolah kalah pamor ketimbang pahlawan nasional beken seperti Soekarno, Hatta, HOS Cokroaminoto, Sjahrir dan lain-lain. Maka, sudah sepantasnya Thamrin mendapat penghormatan lebih layak. Mari mulai dari kita sendiri, warga Jakarta.

(Kominfotik JP/SAF)