Sabtu malam (7/03) Syarifah Rohmah tengah merias dirinya di rumah petakan di lingkungan perkampungan grup Sandiwara Sunda Miss Tjitjih. Malam itu, Omah pangilan akrab Syarifah akan berperan menjadi donatur dalam pertunjukan di Gedung Miss Tjitjih berjudul Makam Keramat.
Tak hanya Omah yang tengah mempersiapkan diri, para penari dalam sandiwara ini juga tengah mempersiapkan diri mereka, mulai dari sangul beserta riasannya. Omah dan seluruh anggota Sandiwara Miss Tjitjih tinggal di rumah petak 2x5 meter di perkampungan yang berada di belakang Gedung Sandiwara Miss Tjitjih.
Di sela-sela Omah mempersiapkan dirinya, ia bercerita bagaimana grup Sandiwara Miss Tjitjih terbentuk. Pada awalnya, grup ini dibentuk oleh almarhum kakeknya, Habib Abubakar pada tahun 1928. Grup sandiwara sunda ini bermain keliling dari satu kampung ke kampung lainnya.
“Kakek saya bermain keliling, kita tak punya tempat pertunjukan. Sampai dikenal orang-orang,” ungkapnya.
Tak lama bermain, Habib Abu bakar menemukan gadis sunda yang sangat berbakat dalam bermain seni sandiwara namanya Tji-tjih. Tji-tjih kemudian diajak bergabung untuk bermain sandiwara hingga akhirnya grup sandiwara sunda keliling ini mendapatkan puncak kejayaan. Nama Sandiwara Miss Tjitjih ini berasal dari julukan “mis” yang diberikan pada Tjitjih.
“Tjitjih kemudian menikah dengan kakek saya dan terus mengembangkan grup sandiwara sunda ini,” terangnya.
Masa keemasan grup sandiwara sunda ini pun terus berkembang meski Miss Tjitjih sudah tidak lagi bermain peran karena meninggal di usia muda akibat sakit yang dideritanya. Namun cita-cita Miss Tjitjih untuk mempunyai tempat pertunjukan sendiri direalisasikan suaminya Habib Abu-bakar.
“Kakek saya yang sangat cinta pada Miss Tjitjih tetap meneruskan grup sandiwara ini sampai memiliki tempat pertunjukan seperti sekarang ini,” tegasnya.
Bertahan di Tengah Kemajuan Zaman
Di era kemajuan zaman dan teknologi informasi digital ini, Omah merasakan betul bagaimana mempertahankan grup sandiwara ini terus eksis. Apalagi grup sandiwara sunda ini turun temurun diteruskan pada anak maupun cucu dari para pemain sandiwara Miss Tjitjih sebelumnya.
“Sekarang orang mau nonton film bisa di televisi bahkan di handphone juga ada, tapi sebenarnya kita ini beda. Kita punya ciri khas tersendiri. Kesenian sandiwara tradisional sunda satu-satunya yang ada di Jakarta dan setiap kita pentas tidak pakai naskah, improvisasi sendiri,” papar omah.
Mengajarkan dan menanamkan nilai seni sandiwara pada anak dan cucunya juga tak mudah. Apalagi anak-anak saat ini lebih mengandrungi game. Tapi ia dan para pemain lainnya tidak menyerah.
“Kita selalu tumbuhkan pada mereka, jika bukan mereka siapa lagi yang akan meneruskan sandiwara ini. Lambat laun mereka mengerti dan memahami,” tandasnya. (As)
Kominfotik JP/NEL