Menjadi warga binaan panti sosial mungkin bukan sebuah pilihan. Warga binaan pun kerap mendapatkan stigma saat kembali ke masyarakat. Padahal, kehidupan mereka di dalam panti jauh lebih baik dibandingkan saat terlantar di jalan.
Para warga binaan Panti Sosial Bhakti Kasih Kemayoran misalnya. Para warga binaan panti sosial ini mengaku sangat bersyukur bisa hidup lebih baik di dalam panti. Mereka tidak hanya menumpang hidup, namun juga beraktivitas seperti masyarakat umum lainnya. Bahkan diajarkan berkarya dan menghasilkan uang. Apalagi produk hasil karya para penghuni panti masuk kedalam Jakpreneur binaan Sudin Sosial Kota Administrasi Jakarta Pusat.
Ina, salah satu warga binaan rujukan dari Sudin Sosial Jakpus ini mengaku senang dapat hidup lebih baik dan berkarya di PSP Bhakti Kasih. Sebelumnya, Ina pernah tinggal di Tasikmalaya, namun ia ditelantarkan hingga akhirnya menjadi warga binaan PSP Bhakti Kasih.
Meski mengalami gangguan mental, namun Ina masih bisa berkarya dengan membuat bawang goreng bersama rekan-rekan panti lainnya.
Hari itu, Selasa (13/9), Ina sudah berpenampilan rapih dengan kerudung dan baju seragam olahraga. Rupanya pagi tadi di panti ada kegiatan senam. Semua warga binaan sudah bersiap dengan seragam training dan sepatu olahraga.
Usai berolahraga, Ina kemudian menempati area pendopo untuk membuat bawang goreng. Ada pesanan bawang goreng yang harus dibuat Ina dan teman-temanya hari itu. Ina bertugas mengupas bawang goreng, bersama lima orang temannya. "Bawangnya perih, nangis," katanya.
Satu persatu bawang yang diirisnya dimasukan kedalam wadah untuk dipotong dengan alat pemotong. Ina tak banyak bicara, namun ia tampak menikmati sesi mengupas bawang bersama temanya. "Ina suka di sini, teman-temannya baik," imbuhnya.
Selain Ina, ada Syarifah yang juga hidup bersama warga binaan lainnya di PSB Bhakti Kasih. Syarifah tinggal bersama anaknya Indah, yang masih balita. Sambil mengurus anaknya dari dalam panti, Syarifah juga ikut membuat produk kerajinan tangan yaitu keset dari kain perca.
Di tangannya, satu persatu kain perca dengan sigap dirangkai dengan menggunakan papan kayu dan jaring besi. Ia memasukan kain perca hingga membuat simpul. Perlahan, dan serius ia menjalin kain-kain perca hingga menghasilkan satu buah keset.
Syarifah mengaku, ia mendapatkan keterampilan membuat keset di dalam panti. Sebelumnya ia tidak pernah mendapatkan keterampilan membuat hasta karya ini. Dengan keterampilan ini, ia ingin suatu hari nanti bisa hidup mandiri di luar panti bersama anaknya.
"Jika sudah ahli saya ingin keluar dan membuka usaha supaya mandiri, Insya Allah," harapnya.
Lain Ina dan Syarifah, Nita Rahayu justru berbagi kisah pilunya sebelum akhirnya menjadi warga binaan PSP Bhakti Kasih. Ibu beranak empat ini, berusaha tegar menceritakan pengalaman pilunya meskipun sesekali Nita mengusap air matanya.
Dengan bergetar Nita bercerita, pernah menjadi korban perselingkuhan suaminya hingga akhirnya ia merantau ke Jakarta dan Makasar. Di Makasar ia sempat bekerja di sebuah catering, namun depresi berat yang dihadapinya membuatnya harus mengalami stroke.
Akibat sakitnya ini, ia diusir saudaranya. Serta sempat mencari anak-anaknya, namun tidak berhasil menemukan ke empat anaknya yang tengah merantau.
"Di Makasar saya tinggal bersama saudara, saya bekerja catering kemudian saya terkena stroke. Saya diusir dari rumah saudara, kemudian saya ke Dinas Sosial Makasar, karena tidak ada panti di sana saya di rujuk ke Jakarta," kenangnya sambil berurai air mata.
Menurutnya, tinggal di dalam PSB Bhakti Kasih merupakan hal yang patut disyukuri, karena bisa mendapatkan perawatan kesehatan rutin untuk pengobatan stroke-nya di RS rujukan.
Selain itu, Nita bahkan mendapatkan perawatan kecantikan di dalam panti. "Tinggal di panti lebih baik, karena diluar banyak orang jahat bisa aja kita diperkosa atau dijadikan pengemis. Di sini saya bisa ikut senam, pengajian, dan perawatan salon," ungkapnya.
Meski para warga binaan ini tinggal di panti dan merupakan rujukan dari Sudin Sosial di beberapa wilayah, namun Kepala Panti Sosial Bhakti Karya, Sutawijaya menekankan, agar tidak menilai warga binaannya sebagai orang dari jalan. Baginya warga binaan seharusnya dibina dan diberdayakan.
"Jangan menilai orang hanya karena dia dari jalan. Kita harus memanusiakan mereka, memberdayakan-nya agar bisa menjadi lebih baik di masyarakat. Jadi sejelek apapun orang itu, di sini kita akan memanusiakan mereka," tegasnya.
Sutawijaya juga berharap dengan berbagai program keterampilan yang diberikan bagi para warga binaan ini, nantinya bisa berguna dan berkarir lebih baik lagi di lingkungan masyarakat.
Dia menerangkan, sejak awal dirujuk ke Panti Bhakti Kasih warga binaan yang didominasi wanita ini sudah diberikan pendamping, yang bertugas untuk memberikan pembinaan termasuk melihat potensi keterampilan yang bisa dilakukan mereka.
Keterampilan yang diberikan di antaranya, membuat hasta karya berupa produk kerajinan seperti keset, strap masker, dan produk pangan seperti bawang goreng, serta keterampilan salon.
"Untuk para warga binaan yang mengerjakan bawang goreng kita bagi timnya, ada yang bertugas membeli bahan bawang merah. Kita pilih yang berkualitas, ada yang bertugas mengupas, mengiris, menggoreng, dan mengemas," jelasnya.
Terkait pemasaran, lanjut Sutawijaya, pemasaran produk hasil para warga binaan ini dipasarkan melalui Jakpreneur, dan melalui pesanan rekanan.
Selain memberikan keterampilan dan berkarya di dalam panti, warga binaan ini juga menerima uang dari hasil penjualan produk yang dilakukan. Upah yang diterima akan dibayarkan per-tiga kali setelah membuat produk hasta karya maupun pesanan bawang goreng.
Biasanya, uang tersebut akan dimasukan pada brankas masing-masing warga binaan, dan akan dicatatkan oleh petugas.
"Kalau mereka hendak mengunakan uangnya tinggal minta pada petugas. Nanti kita catatkan. Kalau belum gajian pun mereka pasti nanya ke kita kapan gajian," kata salah seorang petugas.
Untuk produk bawang goreng buatan warga binaan ini dibandrol Rp65 ribu/toples besar, sementara keset Rp25-45 ribu bergantung tingkat kesulitan.